Sengketa Pemilu, Narasi Kecurangan Pemilu, Seberapa Kuat Buktinya?

by -379 Views
Ahmad Sodiq Fauzi

Oleh: Ahmad Sodiq Fauzi

Pilpres sudah usai tapi Demokrasi Bangsa ini tetap berjalan itulah yang terjadi di Bangsa kita, pasca pilpres 17 April yang lalu polemik pemilihan presiden dan wakil presiden sampai hari ini masih kita rasakan.

Sengketa pemilu itulah yg di lakukan Kubu 02 seakan dengan tak henti-hentinya memproduksi narasi dan opini kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2019, tuduhan-tuduhan kecuranganpun berdampak pada aksi inkonstitusional yang lalu pada 21-22 Mei 2019, hingga ke Mahkamah konstitusi (MK). Tentu hal ini juga berdampak pada masyarakat Indonesia.

Meski demikian Demokrasi terus berjalan ahirnya Tim Hukum Prabowo-Sandi juga menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). BPN telah mengungkap 5 bentuk pelanggaran pemilu dan kecurangan masif yang dilakukan oleh kubu paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf Amin.

Dalam gugatannya, kubu 02 menyebutkan ada judul-judul berita dari online dan melampirkan salinannya. Pengajuan barang bukti tersebut tentu tidak dapat menjadikan sesuatu bukti menjadi konkrit.

Hal itu diketahui dalam berkas permohonan perselisihan hasil Pemilhan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh BPN Prabowo-Sandiaga sebagai alat bukti.

BPN menyebutkan bahwa ada 5 jenis kecurangan, yaitu penyalahgunaan anggaran negara atau program kerja pemerintah, ketidaknetralan aparat negara (polisi dan intelijen), penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan media dan pers, serta diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakkan hukum.

BPN menganggap bahwa kelima jenis pelanggaran tersebut bersifat terstruktur, sistematis dan masif, dalam arti dilakukan oleh aparat secara struktural, terencana dan berdampak luas mencakup wilayah Indonesia. Namun haruskah hakim MK menerima gugatan tersebut? Menurut saya tidak! karena dalam hal bukti, pihak BPN ternyata enggan mengungkap lebih dahulu secara detail dalam permohonan tersebut.

Dalam tudingannya BPN juga bersikukuh bahwa ada tekanan dari penguasa agar media tidak menyiarkan Reuni 212. Di samping itu, ada soal pemblokiran situs yang tak punya izin mempublikasikan hitung cepat pada 17 April yang lalu.

Padahal sudah sepatutnya tim Hukum Prabowo-Sandi memberikan bukti otentik dalam mengajukan sengketa di MK, seperti form c1 dan pernyataan saksi misalnya. Harus ada bukti materiil, itu sesuai dengan pedoman beracara di MK.

Cek berita yang lain di

No More Posts Available.

No more pages to load.