BANTENNOW.COM — Tidak tahu kenapa, saya suka kesal, marah, dan merasa tidak menerima bila ada orang yang mengatakan Sunda Tangerang atau Sunda Banten itu Sunda Kasar. Apalagi yang mengatakan kata ‘kasar’ itu orang di luar Sunda dan tidak memahami bahasa Sunda. Bahkan ketika saya dan kawan-kawan membentuk ‘Aing Tangerang’ banyak yang mencaci, mengutuk, hingga memaksa saya menggati kata ‘aing’ karena dinilai tidak pantas dan sangat kasar.
Mereka kebanyakan yang melakukan protes keras, hatinya pun keras, tidak mau terlebih dahulu mendengarkan maksud dan tujuan di balik dari dibuatnya dan digunakannya nama ‘Aing Tangerang’.
Lalu kenapa Kang kok ngotot pakai nama Aing Tangerang? Selain untuk wadah melestarikan bahasa Sunda Tangerang, salah satu tujuannya adalah agar masyarakat Sunda Tangerang bisa lepas dari Belenggu opini ‘kasar’. Hah Opini? Bukankah kata kata kasar memang ada dalam Undak Usuk Basa Sunda (UUBS)? Iyah itulah akar permasalahannya.
Kenapa Sunda Tangerang harus lepas dari belenggu kata kasar? Karena istilah ‘kasar’ adanya di UUBS, sedangkan kami di Sunda Tangerang tidak terpengaruh dengan adanya UUBS.
Tidak ada sedikit pun maksud saya merendahkan sistem UUBS atau merendahkan Bahasa Sunda yang terpengaruh oleh UUBS. Namun pada kenyataanya memang kami di Sunda Tangerang tidak bisa dipaksakan mengikuti sistem UUBS.
BACA JUGA:Aing Tangerang, Komunitas Pelestari dan Penyelamat Bahasa Sunda Tangerang
Itu alasannya mengapa kami orang Sunda Tangerang sering mendapat nilai kecil pelajaran Bahasa Sunda, ya karena Bahasa Sunda yang dipelajari di sekolah tidak sinkron dengan apa yang diajarkan orangtua kami dan yang kami pakai di percakapan sehari-hari.
Saya memiliki pengalaman dibentak oleh guru Bahasa Sunda ketika SMP, karena ketika jam pelajaran Bahasa Sunda saya mengatakan ‘euweuh’ (tidak Ada). “Heh tong nyarios euweuh, teu aya kitu” (Bentak guru Bahasa Sunda saya pada saat itu).
Padahal dalam percakapan sehari-hari, kami di Sunda Tangerang biasa menggunakan kata ‘euweuh’ baik kepada teman sebaya maupun kepada orang tua kami tanpa perlu mengganti dengan kata ‘teu aya’.
Juga kata-kata lainnya, ketika berbicara dengan orang tua, kami tidak perlu mengganti-ganti kata, contohnya beberapa kata berikut yang tergolong ‘kasar’ menurut UUBS, tapi kami biasa pakai dalam percakapan sehari-hari kepada orang tua : ngomong, meuli, dahar, euweuh, ulin, ulah, poho, isin, dan masih banyak lagi.
BACA JUGA:NGO Rumah Hijau Soroti Aktivitas Penambangan Pasir di Perairan Selat Sunda
Jadi ketika berbicara dengan orang tua, kami bilang “ngomong” ya ngomong, tidak perlu diganti dengan “nyarios”,”euweuh ya euweuh” tidak perlu di ganti “teu aya”, “meuli ya meuli” tidak perlu diganti “meser”. Dan dalam Sunda Tangerang, kami tidak mengganti kata ‘aing’ dengan kata “abdi, kuring, sim abdi, simkuring” ketika berbicara dengan orang tua, tapi kami menggunakan kata “urang atau kula”.
Lalu kenapa kok bisa beda dengan Sunda di Jawa Barat dan kenapa tidak ngikutin UUBS? Kalau kalian membaca artikel sejarah Bahasa Sunda kalian akan menemukan jawabannya. Jadi awalnya ada Sunda itu tidak memakai UUBS, itu bisa dibuktikan dengan ditemukannya beberapa prasasti dan bukti sejarah lainnya yang menyebutkan kata “aing” dan “siya/sia” digunakan dalam Bahasa Sunda Kuno dalam arti lain Sunda Kuno itu sangat egaliter.
BACA JUGA:Komunitas Skateboard Kedaung Tak Kenal Kapok
Ada pula beberapa pihak yang berpendapat Sunda di wilayah Kulon (Barat) Sunda Banten dan sekitarnya, merupakan Sunda Buhun, karena masih memakai sistem Sunda Egaliter dan tidak terpengaruh dengan adanya sistem UUBS.
Kembali ke Sunda Tangerang, Alhamdulillah saat ini masyarakat Sunda Tangerang mulai teredukasi dan mulai menyadari bahwa Sunda yang ada di Tangerang ya memang seperti ini adanya, tidak perlu dibenturkan dan dipaksakan menggunakan UUBS.
Bahkan dukungan kepada Yayasan Aing Tangerang wadah untuk melestarikan bahasa Sunda Tangerang yang kami bentuk semakin banyak, dukungan itu berasal bukan hanya dari masyarakat Sunda Tangerang bahkan masyarakat di luar Sunda Tangerang.
Yayasan Aing Tangerang, namun mulai digunakan juga oleh berbagai instansi, seperti instansi Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Tangerang, lebih tepatnya yaitu Badan Pendapatan Daerah (BAPEDA) Kabupaten Tangerang, yang melakukan sosialisasi kepada masyarakat aga tepat membayar pajak dengan menggunakan kata “Ulah Poho, Mayar PBB” dan saat ini yang terbaru spanduk himbauan pencegahan penularan wabah Covid-19 dari Pemkab Tangerang, Kodim 0510 Tigaraksa, dan Polresta Kota Tangerang yang berbahasa Sunda dengan memakai kata “Dulur-Dulur, Ulah Poho, Kudu 3M”.
Yang membuat saya bernafas lega juga tersenyum ketika membaca spanduk-spanduk instansi ini adalah, kepercayaan instansi untuk menggunakan kosa kata khas Sunda Tangerang tanpa memikirkan aspek sistem UUBS.
Padahal ketika saya SD ada beberapa spanduk dan imbauan dari instansi pemerintah menggunakan Bahasa Sunda tapi tidak dengan kata “ulah poho” melainkan menggunakan kata “tong khilap”.
Wajar saja karena pada saat itu Tangerang masih masuk ke Provinsi Jawa Barat sehingga dalam spanduk berbahasa Sunda pun harus mengikuti sistem dalam UUBS. Namun sekarang tidak bisa dipaksakan memakai “tong khilap” karna kata itu tidak familiar bagi masyarakat Sunda Tangerang sehingga kata “ulah poho” jauh lebih cocok.
BACA JUGA: 1.000 Guru Tangerang Padukan TnT ke Sekolah Pedalaman
Selain pihak instansi, pelestarian Bahasa Sunda Tangerang juga semakin meningkat, khususnya dikalangan para konten kreator, saat ini banyak sekali para konten kretor di Tangerang baik video instagram (vidgram) maupun youtube dengan bangga menggunakan bahasa khas Sunda Tangerang dengan keunikan dialek/logat khas Sunda Tangerang dan tutur kosakatanya yang tidak terikat oleh UUBS.
Maka dari sekarang, untuk siapa saja kalian yang masih menganggap Sunda Tangerang – Sunda Banten itu Sunda Kasar, tolong hilangkan persepsi itu, karena istilah kasar itu adanya di sistem UUBS, dan kami di Tangerang tidak terpengaruh UUBS.
Ganti istilah “kasar” dengan kata ‘unik’ karena setiap daerah punya khazanah dan keunikannya masing-masing. Sunda Tangerang itu unik lain kasar. (*)
Penulis : Kang Udel Aing Tangerang