Site icon Banten Now

Tahun 2030 “Three Zero” Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS

Three Zero

TANGERANG — Aktivis HIV/AIDS di seluruh dunia menargetkan “Three Zero”, pada pencegahan dan pengendalian penyakit HIV/AIDS, di tahun 2030, mendatang.

Demikian disampaikan Andre Widianto, Focal Point Jaringan Indonesia Positif (JIP) dan Program dan Irwanto, Manager Yayasan Kotex Mandiri Provinsi Banten, di Rumah Makan Serba Sambal (SS) Gading Serpong, Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Kamis (14/2/19).

Menurut Andre, ‘Three zero’ itu tidak ada lagi penularan HIV, tidak ada lagi kematian akibat AIDS, dan tidak ada lagi stigma dan diskriminasi baik pada ODHA, populasi kunci maupun kelompok rentan.

Nol diskriminasi dalam penanggulangan HIV diakui Andre, masih menjadi tantangan. Ia masih ingat beberapa waktu lalu berita mengenai lima anak yang positif HIV di Samosir, Medan. Mereka  tidak diperbolehkan sekolah seperti anak–anak lainnya.

Kemudian  populasi kunci karena identitas gender sebagai gay dan transpuan sering menghadapi perlakuan berbeda ketika berhadapan pada akses layanan.

Begitu pun dengan pekerja seks dengan latar belakang pekerjaan mereka. Selain itu karena stigma pada penasun. Slah satu contohnya ketika mengakses ARV banyak kejadian perbedaan pelayanan yang diberikan.

“Nol diskriminasi menyoroti mengenai hak setiap orang bebas dari diskriminasi, tidak seorang pun boleh menghadapi diskriminasi karena persoalan umur, jenis kelamin, identitas gender, orientasi seksual, kecacatan, ras, status etnis, bahasa, status kesehatan termasuk HIV, lokasi geografis, status ekonomi atau status sebagai migran atau karena alasan lainnya,” papar Andre.

BACA JUGA: BNN Banten: Pecandu Jangan Takut Hukum

Persoalan diskriminasi yang terjadi justru, lanjut Andre, kemudian melemahkan berbagai upaya penanggulangan HIV yang sudah dilakukan. Diskriminasi tidak akan hilang tanpa peran aktif dan tindakan dari semua orang untuk mengakhirinya.

Diskriminasi itu menurut Andre, adalah perlakuan negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang atas dasar: jenis kelamin, ras, suku atau asal kebangsaan, agama, kecacatan, orientasi seksual, kelas sosial, usia, perkawinan status, tanggung jawab keluarga, dan lain-lain.

“Diskriminasi membuat orang enggan mengakses layanan kesehatan, termasuk metode pencegahan HIV, belajar mengenai status HIV mereka, mengakses perawatan dan pengobatan,” ujarnya.

Dijelaskannya, tiga penyakit menular paling mematikan di dunia, yakni Malaria, HIV dan Tuberkulosis, secara tidak proporsional mempengaruhi populasi penduduk termiskin di dunia, dan dalam banyak kasus diperparah oleh ketidaksetaraan akibat  jenis kelamin, usia, seksual orientasi atau identitas gender dan status migrasi.

Dikatakan, dalam sebuah survei terhadap 19 negara, seperempat dari orang yang hidup dengan HIV dilaporkan mengalami beberapa bentuk diskriminasi dalam perawatan kesehatan.

Stigma dan diskriminasi terhadap populasi kunci diperkuat oleh hukum pidana dan hambatan struktural lainnya, yang memicu kekerasan, eksploitasi dan suasana ketakutan.

Menurutnya, enam puluh dua persen pria yang berhubungan seks dengan pria di Kampala, Uganda, melaporkan bahwa mereka telah mengalami kekerasan fisik selama 12 bulan sebelumnya.

Hampir 30 persen, wanita secara global mengalami fisik atau seksual kekerasan oleh pasangan intim setidaknya sekali seumur hidup mereka. Sebanyak 72  negara mengkriminalisasi hubungan seksual sesama jenis. Sebanyak 32 negara mempertahankan hukuman mati karena pelanggaran narkoba dan lebih dari 100 negara mengkriminalisasi beberapa aspek pekerja seks.

“Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi,” kata Andre.

Irwanto menambahkan diskriminasi sering terjadi karena didasarkan pada informasi yang salah atau takut karena ketidaktahuan.

Untuk mengakhiri diskriminasi, semua lapisan masyarakat memiliki peranan penting termasuk media dalam memberikan pemberitaan yang positif dan benar.

Hal ini untuk menciptakan lingkungan kondusif dimana semua orang kemudian akan merasa tinggal dengan aman, dapat mengakses layanan kesehatan dan saling menghormati pada pilihan serta latar belakang mereka.

Dikatakannya, agen perubahan dalam menciptakan lingkungan kondusif harus diciptakan untuk mengakhiri epidemi AIDS di dunia.

BACA JUGA: KPA Banten: Awas Bahaya Pergaulan Seks Bebas

Agar program HIV dapat berjalan lebih efektif, maka harus mencapai lebih banyak orang agar terus berlanjut termasuk mengatasi persoalan sosial dan isu structural yang menghalangi ODHA dan populasi kunci dalam mengakses layanan.

Menurutnya, mobilisasi masyarakat dapat meningkatkan akses pada tes HIV, layanan pencegahan dan pengobatan serta mempromosikan kepatuhan pada pengobatan.

“Yang paling penting adalah sinergi dari sektor lainnya seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan dan kesetaraan gender akan mendorong peningkatan dampak positif dalam program penanggulangan HIV. Dasar dari penanggulangan HIV adalah komitmen mutlak untuk melindungi hak asasi manusia sehingga Nol Diskriminasi dapat tercapai,” pungkasnya. (sdr)

Exit mobile version