Golput Saat Pilkades Juga Pilihan

by

Oleh: Fajar Restu Rizkiawan

Akhir-akhir ini sedang gencar sekali kampanye yang dilakukan oleh para tim sukses untuk menyambut pemilihan kepala desa.

Semarak betul, sampai obrolan keluarga saya saja sudah bergeser dari Prabowo jadi Menhan ke kedua calon Kepala Desa ini. Pemilihannya semarak, tidak kalah seru dengan pileg atau pilpres.

Baleho dan spanduk sudah mulai dipasang. Entah kalo poster, di tiang listrik dekat rumah sih belum tertempel. Wajah-wajah calon kades itu diselingi warna serta nomor, tak lupa pula banyak slogan yang jadi jargon kuat masing-masing Paslon.

“Lanjutkan!”, katanya. Atau “Pasti Amanah” . Biasa aja, sih. Tapi memang balehonya besar-besar, lebih besar dari kinerjanya nanti saya kira.

Tidak, kalian tidak salah baca, memang saya menulis bahwa balehonya lebih besar ketimbang kinerjanya. Pilkades di desa saya sekarang calonnya ada dua. Satu incombent, satu lagi pernah menjadi lurah.

Dan kinerja keduanya memang biasa saja, tidak ada gebrakan yang memang membawa perubahan.
Golput bagi saya juga pilihan, orang yang datang ke TPS dan mencoblos logo KPU saya kira juga perlu dihargai pilihannya.

Saya mungkin akan melakukannya karena beberapa alasan. Kita semua tentu tahu, anggaran untuk Desa itu lumayan besar. Dan, saya adalah salah satu orang yang tidak tahu itu dana digunakan untuk apa.

Jika berbicara pembangunan, apa memang yang dibangun? Infrastruktur? Maksudnya jalan yang berlubang di cor gitu? Oh. Saya baru tahu tugas kepala desa cuma bisa benerin jalan.

Bedah Rumah? Loh, itu memang sudah program pemerintah, dan sepatutnya memang perlu dijalankan, Lainnya? Duh, jadi haus.

Orang kenapa sibuk membangun jalan tapi lupa membangun semangat manusianya, ya? Pernah atau tidak sih sebenernya Kepala Desa itu memperdulikan masyarakat desanya. Misalnya soal berapa yang masih menganggur dan apa upaya desa untuk mengakali itu.

Atau, bagaimana rataan pendidikannya serta diperhatikan tidak yang, ‘maaf’ ekonominya di bawah lalu memberi beasiswa. Atau memang, membangun jalan lebih penting ketimbang membuat gerakan agar masyarakat ekonomi dan pendidikannya layak. Tidak tahu, sih.

Satu bulan lalu, saya mengobrol dengan salah satu pendukung Paslon. Saat saya tanya kenapa saya harus memilih Kades itu, jawabannya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

“Dia sering banget datang. Kalau datang ke rumah, kadang dikasih uang buat ngeliwet” kata teman.

Malah, keluarga saya di rumah, menjawab dengan cara yang lebih sederhana, “pilih aja yang ngasih uang lebih besar. Kalo engga bagi, ini ada berapa pemilih, dibagi aja berapa orang milih calon A, berapa orang milih calon B. Biar adil,” katanya.

Sungguh, lagi-lagi alasannya perut. Padahal uang Rp100-Rp200 tidak memberi jaminan apapun untuk lima tahun ke depan. Gampang memang, tidak perlu ide atau gagasan, yang penting ada uang, persis seperti milih caleg.

Padahal, yang membuat makin kesal, buat apa memilih orang yang sudah tahu tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak tahu apa yang calon kades itu lakukan.

Selama ini yang saya tahu, mereka cuma bangun jalan. Sisanya ? mungkin rumahnya yang bagus atau mobil-mobilnya yang baru beli. (***).

Biodata penulis:

– Pernah aktif di komunitas baca Tangerang.

No More Posts Available.

No more pages to load.