Mahalnya ‘SOP’ Rasa Kemanusian

by -335 Views

Oleh: Sheikhu Ahmad

 

Kota Tangerang kembali viral. Setelah soal seteru dengan kemenkumham. Kini, prihal Puskemas Cikokol, yang menolak antarkan Jenazah dengan dalih tersandung SOP. Pilu!, merobek rasa kemanusiaan.

Sebuah alasan klise. Dibuat-buat. Dan terlihat panik setelah ramai. Publik menyeruak, menyoal lemahnya rasa kemanusiaan. Itu pun karena enggan menyampaikan tidak sama sekali. Padahal ini tentang kemanusiaan. Bukan melulu prosedural administratif.

Preseden yang sangat memalukan. Menyadarkan bahwa janganlah peraturan yang telah dibuat malah menjadi belenggu sifat kemanusiaan kita. Bukankah aturan hadir untuk mempermudah dan memenuhi segala kepentingan bersama.

Sungguh miris, kota yang terkenal dengan slogan “Akhlakul Karimah”, tergores noda hitam.

“Asma’ul Husna” yang terpampang sepanjang jalur utama kota Tangerang nyata-nyata tidak mampu terpatri dalam sanubari. Alih-alih meneladani sifat dan sikap akhlakul karimah, malah berbanding terbalik ekspektasinya. Ini suatu kegagalan. Bahwa simbol-simbol ke-Tuhan-an tidak menjadi jaminan akan semakin religius dan manusiawi.

Ternyata yang terpenting adalah bagaimana kemudian nilai-nilai kemanusiaan itu bisa diimplementasikan dalam kehidupan. Sehingga, kasus seperti itu tidak perlu terjadi. Ini bukan semata lalai dan hilaf. Jauh hari itu, soal pemahaman dasar beragama, pun bernegara.

Tampaknya lebih elegan nilai-nilai ilahiyyah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sebatas terpampang di jalan raya sebagai simbol religius. Agama tidak melulu soal simbolisasi. Yang paling penting, ada dalam diri pribadi. Formalisasi atau penghadiran simbol keagamaan, tidak berbanding lurus dengan penganutnya.

Sedikit sekali masyarakat yang mampu mengamalkan inti sari agama. Idealnya, semakin kuat simbol ke-agama-an, semakin tinggi rasa kemanusiaan. Tapi tidak bagi kota Tangerang. Simbol itu tidak berbanding lurus dengan harapan.

Sebenarnya bukan hanya soal jenazah terlantar. Masih banyak kasus lain yang masih mengendap terkait matinya nurani dan mahalnya rasa kemanusiaan. Namun kasus penolakan puskemas adalah suatu letupan kecil dari sumber api yang cukup menghentak nurani yang kini menjadi viral. Ada banyak problem yang harus dibenahi. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

Ini semacam pekerjaan rumah kita bersama. Untuk merajut kembali rasa kemanusiaan yang dulu jadi ciri khas bangsa Indonesia. Negara yang penuh dengan falsafah hidup dan kehidupan. Wilayah yang mewariskan tradisi gotong-royong dan peka akan sesama. Sebuah peradaban luhur yang semakin hilang. Daerah dimana, ukhuwah basyariahnya sangat kentara.

Kejadian seperti ini tidak akan terulang, bila semua pihak memiliki rasa empati dan cermat dalam solusi. Kita memahami terkait standar oprasional prosedur. Rakyat mengerti mengenai sterilisasi pada mobil ambulan. Tapi mengapa pemkot tidak fokus pada solusi. Petugas puskemas harusnya kordinasi terlebih dahulu dengan pihak terkait. Sehingga pelayanan publik tidak terabaikan.

Alih-alih mencari jalan keluar, malah membiarkan warga berjalan kaki. Ini namanya pembiaran. Sekaligus menunjukkan matinya nurani kemanusian. Apa pun alasannya, dalam keadaan darurat, soal seperti ini, harus dilayani.

Padahal ada banyak solusi. Puskesmas seharusnya memiliki data; mana saja stakeholder kesehatan yang punya ambulan. Kota dengan anggran dinasnya diatas 300 milyar, kejadian seperti ini sungguh memalukan. Birokrasinya harus dievaluasi.

Ke depan, kita berharap kasus seperti ini tidak sampai terulang. semoga pemkot mampu meningkatkan pelayanan atas dasar kemanusiaan. Bukan bersembunyi dibalik SOP. Alasan buruk yang hanya pantas diungkapkan orang-orang kerdil. (***).

Biodata Penulis:

– Wakil Ketua PC GP Ansor Kabupaten Tangerang.

– Dosen STISNU Nusantara Tangerang.

Cek berita yang lain di

No More Posts Available.

No more pages to load.